Jumat, 08 Agustus 2008

Aku Ingin Seperti Paman Jati



Paman Jati Kusuma. Ya, itulah nama lengkap pamanku. Namun aku biasa memanggilnya Paman Jati saja. Paman Jati adalah adik dari ibuku. Ia seorang pilot angkatan udara (AU). Ia sangat gagah dan pemberani. Ibu sering memperlihatkan foto-foto Paman Jati lengkap dengan seragam pilot kebanggaannya. Hal ini karena kami memang jarang bertemu. Paman Jati selalu saja ditugaskan ke semua tempat di seluruh pelosok Indonesia.

Ibu sering menasehatiku untuk selalu rajin belajar agar dapat meraih cita-cita yang aku imikan seperti halnya Paman Jati. Kata ibu, sejak kecil Paman Jati memang rajin belajar dan selalu mendapatkan peringkat satu di kelasnya, sampai akhirnya ia meraih cita-cita yang ia impikan.

Namun, bagiku menjadi seseorang seperti Paman Jati tidaklah mudah. Aku harus rajin belajar. Itulah masalah besarku. Aku ini termasuk anak yang malas belajar. Aku lebih suka bermain dengan teman-temanku. Ibu sering memarahiku dengan kebiasaanku yang satu ini.

“Andi, kapan kamu belajar? Sedari tadi ibu lihat kamu belum belajar.” tegur ibu suatu saat.
“Iya, Bu. Sebentar lagi. Lagi seru, nih! Lagian besok Andi tidak ada PR kok,” kilahku sambil pandanganku tak lepas dari layar TV.

“Belajar kan tidak hanya kalau ada PR saja, Andi?” ujar Ibu.

“Iya, Bu. Sebentar lagi Andi pasti belajar,” ujarku gusar.

Ibu selalu saja begitu. Memaksa aku untuk belajar di saat aku sedang asyik menonton acara TV kesukaanku. Usai menonton TV, aku mengantuk. Aku segera masuk kamar dan merebahkan badanku di tempat tidur. Aku lupa kalau harus belajar, seperti kata ibu.Tak berapa lama kemudian akupun tertidur.

* * * * *

Keesokan harinya di sekolah.

Pada jam istirahat pertama tiba-tiba Irfa, si ketua kelas memberi pengumuman di depan kelas.

“Teman-teman semua, setelah jam istirahat ini akan diadakan ulangan harian IPA. Kita diberi waktu 30 menit untuk belajar sebentar.” seru Irfan.

Spontan semua teman-teman di kelasku gaduh. Ada sebagian anak yang panik karena merasa tidak siap mengikuti ulangan harian hari itu. Dan aku termasuk salah satunya.

“Lho, kita kan belum diberitahu kalau hari ini akan diadakan ulangan harian?” protesku.

“Aku juga tidak tahu kalau hari ini ada ulangan. Ini perintah dari Pak Harun,” jawab Irfan

“Dan lagi, kalian memang seharusnya setiap hari belajar, tidak hanya kalau ada ulangan saja.” Tiba-tiba saja Pak Harun telah berdiri di dekat pintu kelas sambil membwa soal-soal yang siap untuk dibagikan. Spontan anak-anak duduk tenang dan mulai belajar memanfaatkan waktu yang ada.

30 menit kemudian ulangan IPA benar-benar dimulai. Wajah-wajah cemas tampak diantara teman-temanku. Akupun merasakan hal yang sama. Aku sama sekali tidak siap mengikuti ulangan harian hari ini. Waktu 30 menit tadi menurutku tidak cukup untuk belajar dengan materi ulangan yang begitu banyak.

Seperti yang sudah aku perkirakan sebelumnya, aku tidak bisa mengerjakan soal-soal yang diberikan Pak Harun. Ada beberapa yang bisa aku kerjakan, namun itupun aku tidak yakin benar atau salah.

Sudah dapat ditebak, nilaiku sama sekali tidak memuaskan. Untung ini hanya ulangan harian, pikirku. Kalau ibu tidak tahu, pasti ibu tidak akan memarahiku. Aku menyimpan baik-baik hasil ulangan harian IPA-ku yang sangat buruk itu agar tidak ketahuan oleh ibu.

Di rumah, ibu mulai sering memarahiku karena aku tidak pernah terlihat belajar dan hanya bermain saja. Kadang untuk menghindari kemarahan ibu aku pura-pura belajar sebentar, namun ketika ibu tidak ada, aku kembali bermain.

* * * *

Siang itu sepulang sekolah aku melihat pemandangan yang tak biasa di depan rumahku. Di sana berjejer mobil-mobil tamu. Entah siapa itu. Apa mungkin ada pertemuan keluarga? Pikirku. Setelah memarkir sepeda di samping rumah, aku bergegas masuk. Di ruang keluarga aku lihat om dan tanteku sedang berkumpul. Tapi tunggu dulu. Kenapa Tante Mira menangis? Ibuku juga. Dan Ayah sibuk menenangkan mereka berdua. Sedangkan pamanku yang lain, Paman Jaka melihat berita di TV. Karena penasaran aku bertanya pada ayah.

“Ayah, ada apa ini?” tanyaku.

“lalu ayahpun menjelaskan kalau mereka berkumpul di sini karena sedang menantikan berita mengenai kecelakaan pesawat yang diawaki oleh Paman Jati.

“Hah, Paman Jati kecelakaan?” tanyaku terkejut.

“Iya, sejak kemarin Paman Jati yang menjadi pilot pesawat yang dikirim ke daerah konflik mengalami kecelakaan. Pesawatnya diperkirakan jatuh di daerah pegunungan dan sampai sekarang belum bisa ditemukan. Kita semua di sini masih menunggu berita mengenai kecelakaan itu,” jelas ayah kepadaku.

Aku sedih mendengarnya. Kemudian aku ikut bergabung bersama mereka menantikan berita terbaru mengenai keberadaan pesawat Paman Jati serta tak lupa mendoakannya agar selamat dari kecelakaan itu.

Seminggu telah berlalu. Kabar dari Paman Jati tak kunjung datang. Pesawat itu sulit ditemukan karena medan pegununga yang sulit dilacak. Ada dugaan lain, pesawat yang dipiloti Paman Jati tidak jatuh di pegunungan melainkan di laut. Jadi bangkai pesawatnya sulit untuk ditemukan.

Akhirnya pencarianpun dihentikan karena usaha pencarian sudah menginjak 1 bulan danpesawat belum juga ditemukan. Kami sekeluarga sepakat untuk berkumpul di pangkalan udara tempat Paman Jati berangkat dengan pesawat yang nahas itu dan berdoa di sana.

Kami sekeluarga merasakan kesedihan yang luar biasa, namun kami mengikhlaskan apa yang terjadi dengan Paman Jati. Kami bangga karena Paman Jati gugur dalam tugas. Kelak aku ingin seperti Paman Jati. Menjadi Pilot Angkatan Udara yang pemberani dan tidak takut mengahadapi apapun. Dan untuk itu, mulai sekarang aku akan rajn belajar dan selalu menurut nasehat inu. Aku tidak ingin menjadi anak yang pemalas lagi dan mendapat nilai-nilai yang buruk. Karena aku ingin seperti Paman Jati.

Tidak ada komentar: